Jumat, 01 April 2011
Dan hujan benar-benar jatuh di kotaku. Suaranya menggelepar-gelepar bagai ikan yang meregang nyawa di daratan. Memantul-mantul, bertik-tak keras serupa simponi dalam tuts-tuts piano. Memercikkan biasnya di jendela, mengantarkan alunan magis di keheningan ruang yang lapang.

Tak kutahu hari akan hujan. Langit siang tadi masih biru meski di beberapa sudut sudah kelabu. Toh itu sudah hal biasa bagi penduduk kota ini. Lumrah seperti tahun-tahun lalu yang lewat dan usang. Biasa karena keterbiasaan itu terus dipertahankan.

Aku masih berdiri di tepi jendela. Membiarkan mataku menyusuri lekuk kota yang abu dan suram. Tapi, pada hujan yang jatuh di kotaku hari ini, aku masih berharap satu hal. Hujan hari ini haruslah hujan poyan . Untuk menggenapkan janji: hujan akan datang membawa seseorang. Seperti dulu. Seperti kata Uyutku.

Hujan bulan April akan datang menjengukmu, Di. Memberikan senyum khasnya lewat kaca jendela yang bisa kau pandang. Kelak, kau akan temukan cinta sejatimu di sana.

Aku masih mematung di lantai dua rumah ini. Menyesapi sejuk yang diam-diam mengisi rongga dadaku. Tahun-tahun itu telah berlalu dan menjadi deretan angka-angka kosong yang tak menjadi apa pun. Usiaku hampir kepala tiga. Dan seseorang yang dijanjikan itu belum datang juga. April dimana aku berdiri sekarang adalah April yang kesekian kali sejak aku menanamkan keyakinan itu di dadaku dan diam-diam menanti sosok yang bisa kulihat dari balik jendela. Aku sungguh selalu merindu hujan di bulan April.


Uyutku pernah bilang, bila hujan datang, sementara matahari masih bersinar, maka peganglah kedua telinga jangan sampai terlepas. Namanya hujan poyan. Hujan seperti itu, katanya, akan membuat seluruh rambut di tubuh kita berganti rupa menjadi tujuh warna. Indah tetapi menakutkan. Ingatan itu selalu melemparkanku pada suatu ketika, saat hujan kembali turun, dan aku yang berlari-lari menghindari panah hujan, diperhatikan orang yang memandang heran. Gilakah anak itu? Lari dengan tangan memegang telinga?

Kelak, saat aku tahu bahwa itu hanya mitos, aku masih tetap melakukannya. Memegang kedua telinga saat hujan poyan merayapi sudut-sudut kota. Membasahi jalanan, pepohonan, atap rumah, dan segala benda yang tersebar di seluruh kota. Hanya satu yang kutahu belum terjadi padaku. Rambutku masih belum berupa tujuh warna. Itu tak kuingin. Karena kalau terjadi, kata Uyutku, aku akan menjadi pangeran dengan wajah tampan dan rambut yang memikat perhatian.

Harusnya aku memang ingin menjadi begitu. Bukankah menjadi pangeran itu impian semua orang? Tapi, ah, apa peduliku? Takkan kubiarkan ada yang memasuki hatiku sebelum aku benar-benar mampu. Lagipula, apa urusanku bila rambutku berganti rupa? Aku bukan artis yang suka tebar pesona memperlihatkan mode-mode terbaru. Bukan pula aku peragawan yang mempertontonkan busana kurang bahan atas nama tuntutan zaman. Bukan pula koruptor, yang asyik memolesi diri agar terpandang, tanpa melihat darimana uang didapatkan. Aku hanya percaya ini: hujan poyan itu akan membantuku menemukan jodohku.

Bahwa hari ini hujan kembali datang, aku sedikit terhibur. Bagaimana pun, kenangan akut selama sekian tahun di kota ini telah membantuku mengukir jejak di semua tempat. Cuacanya masih sejuk, sama seperti pertama aku menghirup udaranya. Tata kotanya masih tetap tak beraturan, meski sudah berganti walikota dengan sederet janji yang ternyata tak pernah bisa direalisasikan. Langit yang melengkunginya tetap berwarna abu, karena asap-asap kendaraan dan corong-corong pabrik telah demikian dekat ke ujung langit dan menyemprotkan sisa pembakaran yang hitam. Peraturan demi peraturan telah diresmikan, tapi tetap belum ada yang benar-benar menaatinya. Harus selalu kuasa Tuhan dulu yang bertindak. Baru kemudian manusia menyadarinya. Kota ini membutuhkan kesadaran yang ditumbuhkan dari sanubari sendiri. Seperti kesadaranku saat menanti-nanti datangnya hujan poyan, menunggu jodoh yang sampai sekarang belum bisa didapatkan.

Datanglah sebentar ke kota ini, Di. Meski cuaca tak menentu, mudah-mudahan ada keajaiban saat kau bertandang. Takkah ingin kau menjenguk kota ini, Di?

Pesan pendek dari ibu yang membuatku kembali ke sini. Rindu katanya. Ibu sudah tak pernah lagi bertanya kapan aku akan menikah. Bujukan demi bujukan dari keluarga, sudah tak mempan masuk ke dalam otakku. Aku tetap bisu dalam kesendirianku hingga akhirnya mereka menyerah dan tak peduli. Aku menjunjung keyakinanku saat menziarahi makam Uyut suatu ketika. Mencoba menelusuri kebenaran yang ia ucapkan saat dulu pernah berkata padaku, di sore saat tangannya asyik mencari kutu dari rambutku, di golodog rumah yang berdinding gedek. Dulu.

Hujan akan datang. Saat itu, kau akan berubah menjadi indah. Dengan rambut tujuh warna, kau akan menjelma menjadi pengeran tampan.

Seperti dongeng-dongeng pengantar tidur yang sering dibacakan untukku. Sang Pangeran pasti akan selalu dipertemukan dengan tuan putri yang cantik dari kerajaan seberang.

Bukan tak pernah aku jatuh cinta. Perasaanku pernah akut meresapi keindahan aura dari tubuh berjenis Hawa. Dia yang datang dengan senyumannya yang menggigit jantung hingga berontak dan berdegup tak mampu henti, dia dengan sejuta candanya yang larut dalam kilatan matanya yang riang. Aku pernah meresapi semuanya dalam dimensi hatiku yang rindu mencari. Pernah pula hendak kukata. Tapi seperti anak remaja yang baru jatuh cinta, aku pun terdiam kelu dan membiarkan dia menatap heran padaku karena tak berucap apa pun. Sejak itu, aku hanya membiarkan diriku menjadi sepasang mata yang mengawasinya dari jauh. Membiarkan ia makin larut dalam nuansa yang ia cipta di hari-harinya.

Aku ingin mendekatinya. Tapi ia telah begitu tak sudi bergaul bebas tanpa ada batas. Bicara berdua berarti ada setan diantaranya.

“Kau masih percaya hujan poyan akan datang, bukan?”

“Ya. Tapi…”

“Hilangkan yakinmu itu, Di. Hujan poyan takkan datang. Sampai berapa lama kau akan bertahan?”

Aromanya yang memabukkan diantarkan angin yang segera berlalu pula dari penciumanku. Persetan dengan omongannya. Aku masih mempercayai itu. Mempercayai bahwa hujan poyan akan datang. Saat itulah aku akan menemukan jodohku dengan cara yang tak pernah kutahu. Aku percaya Tuhan pasti punya rencana paling fiksi untuk itu. Seperti fiksinya aku yang bertemu dengannya di bangku kuliah ini.

Pertemuan dengan perempuan itulah yang membuatku ingin segera hengkang dari kota ini. Bukan karena aku tak mencintanya, tapi karena rasa itulah aku harus segera melarikan diri. Rin tidak datang saat hujan poyan. Itu yang mengangguku. Rin datang padaku di suatu ketika, saat aku sedang duduk termenung memandang air mancur yang menyemprot di kolam taman, dan duduk di sampingku tanpa permisi.

“Ada cowok yang suka melihat air mancur. Romantis sekali!”

Tak kubiarkan mulutku berucap. Hanya memandangnya sekilas, dan terkejut saat menatap warna matanya yang jernih. Aku terpaku.

“Jangan memandangku seperti itu. Aku suka cowok yang romantis. Mereka lebih peduli terhadap apa pun dari siapa pun. Seperti sukanya aku pada hijaunya daun-daun juga udara segar,” tambahnya lagi.

Lalu perbincangan itu berujung. Aku tahu namanya dan ia tahu namaku. Tapi, setiap kali aku memandang dedaunan, setiap itu pula aku teringat namanya.

“Aku ingin menjadi penyelamat kota ini, kau tahu? Kota ini telah begitu sumpek dengan beton dan asap-asap kotor. Aku ingin kota ini hijau kembali. Agar semua orang bisa terlepas dari jeratan polusi yang membuat mereka sengak. Kau pun begitu, bukan?”

“Ya. Tapi….”

“Kota ini harus hijau lagi. Itu mimpiku suatu hari nanti!”

“Ya. Tapi….”

Kejora itulah yang membuat akal sehatku terbalik. Aku tak mampu meneruskan kata-kataku. Tapi seperti yang pernah kukata, aku tak ingin takluk begitu saja memandangi eksotis matanya yang riang. Selepas wisuda yang membuatku terangkat bagai orang mendapat lotre, aku hengkang ke kota lain. Bekerja menjadi editor di sebuah penerbitan yang tak peduli kebutuhan rohani. Di sebuah kota yang lebih akut daripada kotaku. Aku terjebak kerontang tanpa ada hujan.

Dan Rin, ah, apa kabarnya dia?

Hujan jatuh di kotaku. Ini kali pertama semenjak bulan-bulan yang telah lalu. Udara telah panas dan debu kian menggumpal menjadi daki-daki zaman. Aku tak berharap ini hujan poyan. Aku hanya ingin membiarkan diriku mengalami keindahan yang dulu pernah kucecap.

Aku tak pernah tahu dimana Rin. Tak pernah kutanya pula proyek impiannya untuk menghijaukan kembali kota ini. Kupikir, itu hal yang sia-sia saja. Pemerintah takkan tanggap terhadap urusan macam begitu kalau tidak ada dulu sentilan kecil yang Tuhan berikan. Tapi ah, bukankah nasib sebagian kota yang terendam banjir saat hujan pun, itu menjadi teguran? Kuharap Rin ada diantara orang-orang yang memperjuangkan nasib sebagian masyarakat yang tak beruntung itu.

“Kotamu takkan pernah bisa bagus, Di. Pemerintah terlalu alot mengurusi hak-hak mereka agar perut kenyang. Kudengar, bahkan layanan publik di kotamu paling buruk di negara ini. Ah, Di, jangan berharap mereka akan tanggap dengan kotamu yang kian gersang. Tunggu dululah sampai saat dimana bencana datang. Baru mereka akan mengoceh bahwa dana untuk itu tidak tersedia, atau mereka akan mengucurkan dana dengan terpaksa untuk menyelamatkan muka.”

“Ya. Tapi kan…”

“Kau ingat bukit di kotamu yang jadi area perumahan? Seharusnya kau sadar itu hanya akal-akalan mereka. Pengembangan kota itu bullshit. Yang ada, kotamu makin tak memiliki area hijau. Taman di tengah kota takkan membantu, Di. Kau pikir taman itu mampu menyulap suhu menjadi sejuk?”

“Ya. Tapi kan …”

“Belum lagi dengan birokrasi yang bertele-tele. Aku benci, Di, kalau harus kembali lagi ke kotamu!”

Perbincangan dengan sahabatku itu lirih terngiang bersama derai hujan. Waktu itu, jelas-jelas tergambar rupa Rin di mataku. Aku tak mampu membela apa pun untuk kota ini. Kota yang dulu bagai Paris, dipuja dan dimanja. Kota tempat segala macam keindahan tersedia, kini beralih rupa dengan segala keruwetan yang mengiringinya. Tumpukan sampah, kemacetan, kriminalitas … semua tanpa ujung.

Perbincanganku dengan Rin selalu mengingatkanku pada betapa tak adilnya hidup di kota ini. Yang kaya semakin kaya dengan rumah mereka yang dilingkari tembok menjulang. Mobil-mobil mewah semakin antri di SPBU sekedar mengisi perutnya yang keroncongan. Sementara di bawah jembatan, orang-orang asyik mengais sampah, menadahkan tangan, dan berjumpalitan demi uang recehan. Dan Rin, selalu dengan binar di matanya mencoba menghasutku untuk jadi sepertinya.

“Aku ingin menjadi pahlawan bagi mereka, Di. Percayalah, kota ini bisa kita sulap menjadi lebih baik dari sekarang. Kau pun menginginkan itu bukan?”

“Ya. Tapi kan …”

“Jangan ada ‘tapi’, Di. Harapan itu harus diwujudkan. Kota ini akan hijau meski kesertaanmu hanya dengan setangkai pohon,” ucapnya berapi-api.

Dan hujan yang menjengukku, membasahi pula pohon yang dulu pernah kutanam di samping rumah.

Kupandang butir-butirnya yang terjun. Buncah ke bumi tengadah. Aku rindu dengan masa-masa berada di kota ini. Aku rindu dengan kehadiran Rin yang berbinar menceritakan mimpinya. Sudah empat tahun pasca kelulusan itu aku menghilang. Tak pernah sekali pun kuucapkan kata perpisahan untuknya. Aku meraibkan diri karena percaya Rin bukan jodohku. Rin tidak datang saat hujan poyan.

Kali ini, saat hujan kembali jatuh di kotaku, aku seperti membaca jejak Rin dalam tiap butiran yang turun. Hujan telah datang, tapi Rin masih menjadi bayang di mataku. Ada perasaan menyesal saat kuingat dulu aku tak pernah berpamitan untuknya. Apa kabarnya Rin?

“Rin akan selalu ada, Di. Di hatimu. Meski kau telah pergi jauh dan hujan poyan mengantarkan sosokmu pada dia yang kau cari. Rin tahu, hujan akan datang. Dan Di sudah akan menjadi bayangan bagi Rin. Selamat jalan, Di.”

Pesan pendek itu masih tersimpan dalam kotak masukku. Rin yang mengirimkannya di hari kepergianku dulu. Setelah itu, aku mencoba mematikan hatiku untuk Rin. Rin tidak datang saat hujan poyan.

Dan aku benar-benar terkejut saat hujan sudah berubah menjadi gerimis. Surya itu bersinar terang dan menyapa dedaunan sehingga menjadi larik cahaya yang berkilauan. Hujan poyan itu datang! Benarkah?

Akankah kutemukan jodohku dari balik jendela, seperti yang Uyut dulu sampaikan?

Lalu, mengapa tanganku diam saja tak memegang telinga seperti yang dulu pernah kulakukan? Mengapa aku diam saja dan terpana melihat cahaya?

Kudengar suara Rin lirih di kepalaku.

“Rin percaya hujan poyan ada. Tapi, kalau rambut Di berubah warna karena Di tak memegang telinga, Rin tak percaya. Itu tahayul, Di. Kecuali kalau di belakang Di ada pelangi. Rin sangat percaya kalau rambut Di nanti berwarna. Mejikuhibiniu.”

Suara Rin benar-benar sudah memenuhi kepalaku.

Tapi jodoh dari balik jendela belum kudapatkan. Atau, inikah isyarat sebenarnya dari apa yang kunanti selama ini?

Dan hujan pun jatuh di kotaku. Di kota hatiku.

Bandung, 4 April 2009

http://cahayarul.wordpress.com/2009/04/21/dan-hujan-pun-jatuh-di-kotaku/

Fauziah Husnaa

Masih perlu banyak belajar. Belajar apa saja. Hampir selesai KKN-PPL dan sedang akan mengajukan judul skripsi. Sangat suka dengan desain dan kartun... Masih aktif sebagai mahasiswi Universitas Negeri Yogyakarta.

0 terbaik

Thanks For Reading and visiting....
Please Leave Your Comment ^____^