Sabtu, 18 Agustus 2012
ANGIN-ANGIN sejuk mengipas-ngipas wajah manusia. Mengepung anggota tubuh rakyat Parepare. Tetapi, seorang lelaki berusia 21 tahun menuai kegerahan di kota itu.

“Aku ingin menikahimu!” tegas suara Umar di ujung telepon sembari mengucurkan keringat melalui celah leher bajunya.

“Iya, aku juga siap!” suara wanita itu menjawab keseriusan Umar. Perasaan Umar serasa terbang bak burung yang baru lepas dari sangkarnya. Keringatnya mengering tiba-tiba di tepi leher bajunya.

Dua manusia tengah menapaki jalan menuju jenjang kesucian. Mereka saling berjauhan. Umar berlibur di Kota Parepare, sementara wanita itu di Kabupaten Pangkep. Meskipun jarak mereka berjauhan, tapi komunikasi lewat telepon itu semakin memperkecil jarak tersebut. Bahkan semakin dekat, hanya 5 cm.

Enam bulan yang lalu…

Umar merupakan mahasiswa semester V. Kegiatannya selain kuliah adalah asisten Laboratorium Komputer. Dunia luas ini yang semakin bertebaran ilmu pengetahuan membuat dirinya berkomitmen tetap maju pada segala disiplin ilmu.

“Meskipun saya sudah di belakang, tapi saya tidak mau terbelakang!” pekik motto hidupnya. Sehingga sejak di bangku kuliah, ia selalu mendapatkan penghargaan dari beberapa dosen. Walhasil, salah seorang dosen komputer hendak mengangkatnya sebagai asisten. Setelah terangkat, Umar menuai kesibukan begitu banyak. Jadwal istirahat semakin kurang, jam belajar menipis. Membuatnya mengeluh di dalam hati.

“Letih juga pekerjaan demikian!” suara hati Umar ketika itu.

Dua pekanan berlangsung praktikum komputer, salah seorang mahasiswi yang diajar Umar mulai melirik. Umar tak menyangka hal demikian. Wanita itu merupakan adik kelasnya. Hanya berbeda setahun. Kadang wanita itu menelpon, membicarakan tugas-tugas komputer. Bahkan tanpa disangka Umar, wanita itu menjadikannya tumpahan hati. Meminta solusi dari persoalan yang dihadapi wanita itu. Hal demikianlah membuat hubungan mereka berdua semakin erat. Bukan lagi sebatas adik kelas. Lebih dari itu!

Hari-hari letih yang dialami Umar berubah. Keletihan tak lagi berkunjung. Kobaran semangat datang. Hati menggebu-gebu menyapa.

“Inikah cinta?” suara hati Umar berbisik di bawah temaram lampu kamarnya.

Tanpa disangka, Umar hendak menyatakan cinta kepada wanita itu. Namun, cinta Umar tak seperti lelaki lain yang hanya mencari kepuasan sementara. Cinta Umar tak sinonim pacaran.

“Pacaran itu tidak pernah dilakukan para nabi, sahabat, dan ulama!” sebutnya jika berdebat.

Kepribadian Umar adalah menelaah buku-buku Islam, mulai dari perkara dasar Islam hingga perkara luas: buku fiqih, aqidah, tauhid, hukum-hukum, dan mengenai pemerintahan Islam.

Komitmennya yaitu meminang wanita itu. Memang sejak semester I, ia berangan-angan menikah.

“Menikah merupakan sunnah rasul itu. Hubungan lelaki dan wanita dalam ikatan nikah adalah halal, sementara selain itu haram. Menikah harus dipercepat. Jika tidak, maka fitnah akan datang.” kutipan buku yang dibaca Umar.

Umar berusaha mengenalnya lebih dekat. Wanita itu bernama Hj. Nurnita. Label “Hj” merupakan singkatan dari Hadjah, artinya seorang wanita yang telah menunaikan rukun Islam kelima: naik haji bagi yang mampu. Umar terkaget-kaget ketika mengetahui wanita itu sudah berhaji. Umur 20 tahun, menurutnya usia sangat muda dan tidak semua orang pergi ke Baitullah. Hanya strata konglomerat bisa menuju ke sana.

“Pasti ia anak orang kaya!” celoteh Umar dalam hati.

Kadang pula bersemayam dalam hatinya untuk tidak melamarnya, mengingat mahar wanita seperti ini tinggi. Akan tetapi, kendala demikian bukan penghalang yang membuatnya mengurungkan niat meminangnya. Sebab, sejak dahulu ia menanti mahligai pernikahan ini. Ia menanti saat-saat terindah menyempurnakan setengah dari agama: menikah. Bahkan, dalam setiap do’a di antara adzan dan iqamah, kerap ia selipkan permintaan ini,

“Ya Alloh, mudahkanlah aku untuk menikah!” pintanya sambil merundukkan kepala, berharap maharnya murah.

SubhanAlloh. Ternyata do’a Umar dikabulkan.

“Tenang saja, kakak. Saya akan membantu menambah uang kakak!” ujar wanita itu ketika Umar mengeluh tinggihnya putusan maharnya nanti.

Semangat Umar semakin membara. Wanita itu menepis keluhannya. Umar makin cinta kepadanya. Pada kesempatan ini, ia mencoba memberanikan diri, maju ke rumah wanita itu. Umar menelpon wanita itu,

“Kapan aku ke Pangkep menemui orang tuamu?” pintanya berharap datang ke orang tua wanita itu untuk melamar.

“…..!” senyap wanita itu. Tak mengira Umar serius ingin melamarnya. Wanita itu terkaget-kaget.

“Nanti saja, Kak. Nanti, saya kabari jika orang di rumah sudah siap!” Hati Umar tak kuasa menahan penantian. Menunggu baginya menyakitkan.

Tiga hari kemudian…

Umar kembali ke kota asalanya: Makassar. Tak terasa waktu yang dinanti-nantika tiba. Wanita itu menelpon. Detak jantung umar semakin deras. Berfluktuasi tak beraturan. Menanti ucapan wanita itu. Apakah ada panggilan ke rumahnya atau tidak. Sungguh, detik-detik menegangkan.

“Iya, besok kakak bisa ke rumah!”

Hati Umar meletup-letup. Akhirnya bisa berkunjung menemui orang tuanya. Umar menyiapkan segala-galanya, penampilan fisik mulai ditata, dan meminta kepada Rabb-nya,

“Ya Alloh, mudahkan!”

Esok hari, pukul 08.00, Umar menuju daerah kecil itu: Pangkep. Perjalanan sekitar 300 km. Setiap kali ia melempar pandangan ke luar jendela mobil, terbetik dalam hatinya, “Aku akan menghadapi dua keadaan genting. Entah diterima atau ditolak!”

Awan-awan kapas berwarna biru lembut turun. Mengapung rendah hendak menyentuh permukaan laut yang surut jauh, itulah Kepulauan Pangkep. Tepat pukul 14.00, Umar tiba di daerah yang luasnya 1.112 km2 itu. Umar tak langsung menuju rumah wanita itu. Tapi ia ke masjid menunaikan shalat dzuhur yang akan di jamak-qashar dengan shalat ashar. Mengingat dirinya adalah mushafir. Seusai shalat, Umar kembali menengadahkan tangannya ke atas, berdo’a dengan penuh pengharapan kepada Rabbnya,

“Ya Alloh, mudahkanlah segalanya!”

Dan ia menutup do’anya,

“Wahai yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku di atas agamamu.”

“Kring… Kring… Kring!” suara HP umar berbunyi. Ternyata wanita itu menelpon sedang memanggil Umar segera ke rumahnya.

“Silahkan ke rumah, Kak!” ujar wanita itu memanggil lembut Umar.

Sekali lagi, jantung Umar terengah-engah bersiap menghadapi peristiwa besar dalam hidupnya. Ini pertama kalinya ia melamar wanita dan tanpa di temani seorang pun.

Jarak masjid ke rumah wanita itu, cukup 70 langkah. Umar masuk ke rumahnya sembari mengucapkan salam di daun pintu rumahnya. Lalu, ia dipersilahkan masuk oleh keluarga wanita itu. Umar pun bergegas masuk dan duduk di sofa mewah. Tepat di depan tempat duduk Umar, ibu wanita itu duduk. Mulailah Umar menyampaikan niatnya,

“Ibu, aku memiliki niat baik. Aku hendak melamar anak gadis, Ibu!” ujar Umar yang sangat meyakinkan.

Ibu wanita itu tergegun sejenak melihat keberanian Umar. Ibu itu tak langsung menjawab, ia mendiskusikan dengan beberapa anaknya dulu. Setelah diskusi, ibu itu masuk ke dalam rumah. Saudari-saudari wanita itu mewakili jawaban ibu itu,

“Dek, kami masih mau Hj. Nurnita kuliah, bukan menikah!”

Umar mematung. Jawaban itu cukup ringkas, tapi mampu meretakkan dan meledakkan cita-cita Umar. Umar mengetahui bahwa benang merahnya adalah tak jadi menikah dengan wanita idamannya.

“Lelaki itu kuat!” kata hatinya paling dalam. Membuatnya tak putus asa. Meskipun pihak keluarga wanita menolak, ia tak ambil hati.

“Mungkin Alloh memberikan jodoh yang lain!” ujar Umar sambil merundukkan padangannya ke lantai. Umar menarik napas panjang-panjang dan bertutur,

“Saya permisi dulu!” intonasi suara Umar melemah dan gagap.

Akhirnya, Umar kembali ke Makassar dengan penuh kepedihan.

Di atas mobil sewa itu, angin dingin menyerbu lewat jendela, menampar-nampar wajah Umar. Ia melempar pandangan ke sana sembari berkata,

“Alhamdulillah dalam segala keadaan. Ku telah menunaikan kewajibanku sebagai lelaki yang mencintai seseorang. Bukanlah keberhasilan diukur dengan diterimanya lamaran, tapi bagiku keberhasilan itu adalah mampu melamar wanita itu di depan ibunya.”

Di ujung ekor mata Umar, terlihat kesedihan mendalam. Meluap-luap kekecewaan. Namun, Umar seorang lelaki kuat, ia tak mau menitikkan air matanya. Ia selalu menepis kekecewaan itu dengan mengigat firman Alloh,

“Bisa jadi di sisimu itu baik, tapi di sisi Alloh itu buruk bagimu.”

Tiga bulan Umar trauma atas kejadian ini. Ini memoar tak terlupakan selama hidupnya. Kadang linangan air mata menetap lama di selaput matanya. Hanya do’a sebagai pelipur lara baginya. Dalam do’anya, ia berucap,

“Wahai yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku di atas agamamu.” Ia lebih baik tidak mendapatkan wanita itu, ketimbang tidak mendapatkan hidayah dari Alloh

Sumber : Muslimah Sholehah

Fauziah Husnaa

Masih perlu banyak belajar. Belajar apa saja. Hampir selesai KKN-PPL dan sedang akan mengajukan judul skripsi. Sangat suka dengan desain dan kartun... Masih aktif sebagai mahasiswi Universitas Negeri Yogyakarta.

0 terbaik

Thanks For Reading and visiting....
Please Leave Your Comment ^____^