Suatu sore tak lama setelah kami menikah, Suami mengajakku jalan-jalan dengan motor milik Abang di bilangan Jakarta Timur. Beliau bilang, "Neng mau tau ga? aku udah milih-milih kavling rumah buat masa depan kita ". Mendengarnya aku kaget sedikit bahagia, lha wong saat itu motor saja masih pinjam, nggak` nyangka ternyata dia telah mempersiapkan segalanya. Eeh ternyata aku diajak melihat suatu kavling tanah kosong yang ditempati beberapa kuburan sekitaran situ. Sambil berhenti sejenak, dia berbisik pelan padaku, “ini rumah masa depan kita yang lebih layak kita pikirkan, 1x2 meter dikalikan dua, untuk mu dan untukku”. Subhanallah, peristiwa itu aku kenang sampai sekarang! sebuah wisata hati yang sangat sarat makna dan menyejukkan.
Di hari yang lain, tiba-tiba dua wanita dihadapanku bercakap perihal rumah, tanah dan seisinya. Saat itu aku hanya bisa menyimak, karena terus terang kami sendiri belum mempersiapkan sejauh itu. Jangankan memikirkan rumah atau calon rumah, akan tinggal dimana saja kami masih belum tahu. Percakapan mereka membawaku jauh kedalam lamunan yang panjang. Sambil sedikit menghela nafas, akhirnya aku hanya berdoa, “ya Allah aku titipkan keluargaku di bumiMu, dimanapun aku berada cukupkanlah kami dengan iman, hati yang bersih dan kesehatan... Aamiin”.
Sebagai seorang istri yang masih belajar untuk menemukan model keluarga idaman, banyak kisah yang aku amati dari pengalaman keluarga orang-orang di sekitarku. Aku kenal dengan sebuah keluarga yang aku kagumi. Keluarga itu sederhana, anak-anaknya tidak dihebohkan dengan kekayaan orang tua yang mereka punya. Sedari kecil diajarkan untuk belajar mandiri dan tidak diajari tuk membanggakan kepunyaan duniawi belaka. Kekaguman itu bertambah saat sang anak sakit. Orang tuanya menempatkan dirumah sakit internasional yang cukup elit karena itu fasilitas yg diberikan kantor ayahnya. Tak kusangka anak itu berkata, “Aku ingin sembuh secepatnya dan pulang kerumah. Pertanggungjawaban ku kelak di akhirat sungguh berat atas fasilitas ini, khawatirnya aku gak layak mendapatkan semua”. Walaupun dalam kondisi sakit dia tidak sombong atas kesanggupan orangtuanya dan hak yang diberikan atas orangtuanya. Padahal kebanyakan orangtua mungkin menganggap hal itu adalah hak anak, hak anak untuk mendapat hak yang terbaik. Luar biasa arti kesahajaan yang ada pada anak-anak mereka...Subhanallah.
Ada lagi cerita lain, tentang keharmonisan keluarga yang seringkali saya jumpai. Saya kenal baik dengan nyaris setiap orang dirumah keluarga tersebut. Anak sulung hingga bungsu kompak dan saling menyayangi, sang ayah yang punya banyak prestasi dan ibu yang aktifitasnya luarbiasa. Setiap moment penting yang disyukuri dan dikenang bersama, sikap saling membangun dan menyemangati peran masing-masing mereka bina bersama. Suatu hari sang ibu bercerita, anak-anaknya tak pernah meminta sesuatu yang seharusnya dia meminta. Heran sekali rasanya saya mendengar itu, karena kebanyakan anak saat menginjak remaja minta ini itu dengan alasan kepentingan belajar ataupun refreshing. Bahkan katanya, untuk meminjam laptop ayahnya mereka sangat sungkan. Kecuali jika ada hak untuk mereka untuk dibelikan sesuatu tersebut. Ingin saya mengajarkan anak-anakku kelak seperti itu. Tidak buta dengan kemewahan dunia dan tidak dibiasakan dengan kenyamanan fasilitas yang ada karena semua adalah milik Allah yang kelak akan dipertanggungjawabkan oleh seorang ayah sebagai kepala keluarga.
Ada juga seorang bapak yang punya sejuta prestasi, aku kagum akan karakternya. Apabila mendapat undangan, Beliau sering terlihat bersama anak-anak binaannya, mengendarai kijang bututnya seraya berkemeja kotak-kotak biasa. Apabila ditanya kemana ibu, dia selalu menjawab ibu ada urusan sendiri bersama anak-anaknya. Tapi jangan berfikir dia tak pernah perhatikan anak-anaknya, tiap hari dia pergi sedini mungkin untuk mengantarkan anak-anaknya ke sekolah, walaupun bapak seukuran beliau sangat mampu untuk menyewa supir dan membantu tugas tersebut. Untuk pergi bersama anak-anak binaannya pun dia sendiri yang menyetir mobil. Itulah beliau, seorang bapak dengan sejuta prestasi internasional. subhanallah...Bagaikan mutiara di saat sudah menjadi lazim apabila sebuah keluarga datang untuk memamerkan bibit bebet bobotnya di setiap perhelatan, entah pernikahan, arisan, halal bi halal atau semacamnya, dengan mengenakan baju sarimbit, perhiasan yang bejibun dan gemerlap aksesoris yang dipakai anak-anak dan istrinya. Mungkin dengan seperti itu orang akan melihat keberhasilan dia sebagai seorang kepala keluarga. Apakah memang seperti itu??
Kemarin saya baca status dari seorang teman di sebuah jejaring sosial yang mengingatkan akan hal ini. menurutnya...'
“Mungkin 8 dari 10 orang akan berubah perangainya jika sudah "mengenal" duit.Jaman mahasiswanya sok idealis, pas sudah keluar dan mulai "merapat" dengan kekuasaan mulai lupa diri dan punya beribu dalih pembenaran.SIGH!”
Saya pribadi jadi teringat masa-masa disaat saya hobby sekali menyembunyikan wajah khawatir kejebak TV saat demo ^ ^....sambil meneriakkan berbagai kata yang merupakan buah dari sebuah idealisme, sering sekali aku berfikir..”Akankah hal itu ada selalu selamanya? seperti apa wajah suami saya kelak? akan dibawa kemanakah saya kelak?”. Saya pribadi tak yakin, nyata-nyatanya saja banyak koruptor kelas kakap yang keluar dari kampus yang sama dengan saya! Saya merinding membayangkan moment reunian hanya digunakan untuk ajang keberhasilan kekayaan dan pamer jabatan. Apakah seperti itu yang namanya keberhasilan suatu keluarga? Akupun mengakui bahwa memang godaan untuk merapat dengan kebahagiaan duniawi sangat kuat saat aku sudah berkeluarga. Apalagi bagi seorang suami yang selalu mengatas namakan ingin bahagiakan anak istri.
Aku jadi teringat awal-awal saat cincin pernikahan ini dia sematkan dijemariku. Saat itu terdapat dua cincin yang lain di jariku. Yang satu pemberian mama saat aku ulang tahun dan satunya pemberian tante yang beliau beli di tanah suci. Keduanya bagus dan sangat aku suka. Lantas suamiku berkata, Neng, pake-nya satu aja jangan tiga-tiganya”. Lantas aku coba merajuk, “ dua aja deh satunya aku simpen yaa...”, Tak kusangka kemudian dia menjawab lagi, bahkan dengan tanpa ekspresi “Satu aja!”.....Sebagai seorang istri jelaslah apa yang harus kulakukan. Tapi, akhirnya walau sedemikian cintanya aku terhadap dua cincin itu, aku simpan keduanya, dan aku pakai cincin pemberian suamiku. Kemudian suamiku berkata, “Ga apa-apa kok pake yang lain kalo Neng lebih suka, cincin pernikahan ngga mesti dipake juga kan??”. Ya jelas saja aku tak mau..”Sudah, nggak apa-apa kok”. Sejak saat itu malah aku lupa akan dua cincin itu, bahkan saat aku pergi ke korea aku lupa menitipkan kepada ibuku. Baru teringat saat aku sampai ke korea bahwa cincin itu ada di dalam laci lemari bajuku. Alhamdulillaah, dari sedikit kenangan manis itu sebetulnya banyak sekali pelajaran berharga buatku. Dari sana aku melihat didikan beliau untuk mengajarkan aku untuk tidak terlalu mencintai sesuatu yang tak layak dicintai.
Kisah ini hanya aku tulis agar aku ingat bahwa keluarga impianku tidak ingin ternodai oleh hal-hal yang menjerumuskan kami kepada kebahagiaan duniawi belaka tanpa kami mendapatkan kesejatian dari kebahagiaan tersebut. Hanya sebagai pengingat bagi diri yang kadang rapuh oleh keadaan. Jelang ulang tahun pernikahan kami yang kedua ,Izinkan kami berserah diri padaMu ya Allah, Berikan kami perlindungan, Kesehatan, Kebaikan dan keharmonisan dalam berumah tangga juga Keimanan dalam berjalan di ranah Mu..Amiien ya Robbal aa`lamin...
Jelang sore, Gyeongsan, Oktober 2010
http://ruangmuslim.com/rm-muslimah/3921-suamiku-inilah-keluarga-impianku.html
Fauziah Husnaa
Masih perlu banyak belajar. Belajar apa saja. Hampir selesai KKN-PPL dan sedang akan mengajukan judul skripsi. Sangat suka dengan desain dan kartun... Masih aktif sebagai mahasiswi Universitas Negeri Yogyakarta.
ijin copy paste bu
BalasHapusArif: ow, silahkan, saudara.. ^^
BalasHapus